Monday, October 17, 2016

Beda Masa Tapi sama Kisah

No comments:

Sudah menjadi sunatullah bahwa Allah akan mengambil Izzah kaum muslimin jika mereka bergumul dalam kesesatan dan kesyirikan dan membuang agama mereka

Secuil kisah tentang ibrah masa lalu yang jika di pikirkan dan di kupas seperti kisah masa kini yang menimpa umat muslim yang dulu menimpa umat bani israil, kisah yang menyindir Ulama suu, HTI dan firqah lainnya

{أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلإ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَى إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلا تُقَاتِلُوا قَالُوا وَمَا لَنَا أَلا نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِنْ دِيَارِنَا وَأَبْنَائِنَا فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلا قَلِيلا مِنْهُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ (246) }

Apakah kalian tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang nabi mereka, "Angkatlah untuk karni seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah." Nabi mereka menjawab, "Mungkin sekali jika kalian nanti diwajibkan berperang, kalian tidak akan berperang." Mereka menjawab, "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?" Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim.

Menurut Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Qatadah, nama nabi tersebut adalah Yusya' ibnu Nun. Ibnu Jarir mengatakan bahwa nabi tersebut bernama Yusya' ibnu Ifrayim ibnu Yusuf ibnu Ya'qub. Akan tetapi, pendapat ini jauh dari kebenaran, mengingat Yusya' baru ada jauh setelah masa Nabi Musa. Sedangkan hal yang dikisahkan di dalam ayat ini terjadi di masa Nabi Daud a.s., seperti yang dijelaskan di dalam kisah mengenainya. Jarak antara masa Nabi Daud dengan Nabi Musa kurang lebih seribu tahun, yakni lebih dahulu Nabi Musa a.s.

As-Saddi mengatakan bahwa nabi tersebut bernama Syam'un. Sedangkan menurut Mujahid adalah Syamuel a.s. Hal yang sama dikatakan pula oleh Muhammad ibnu Ishaq, dari Wahb ibnu Munabbih, bahwa dia adalah Syamuel ibnu Bali ibnu Alqamah ibnu Turkham ibnu Yahd ibnu Bahrad ibnu Alqamah ibnu Majib ibnu Amrisa ibnu Azria ibnu Safiyyah ibnu Alqamah ibnu Abu Yasyif ibnu Qarun ibnu Yashur ibnu Qahis ibnu Lewi ibnu Ya'qub ibnu Ishaq ibnu Ibrahim a.s.

Wahb ibnu Munabbih dan lain-lainnya mengatakan, pada mulanya kaum Bani Israil sesudah Nabi Musa a.s. berada dalam jalan yang lurus selama satu kurun waktu. Kemudian mereka membuat-buat hal yang baru dan sebagian di antara mereka ada yang menyembah berhala-berhala. Di antara mereka masih ada nabi-nabi yang memerintahkan kepada mereka untuk berbuat kebajikan dan melarang mereka berbuat kemungkaran, serta meluruskan mereka sesuai dengan ajaran kitab Taurat. Hingga akhimya mereka melakukan apa yang mereka sukai, lalu Allah menguasakan mereka atas musuh-musuh mereka, dan akhimya banyak di antara mereka yang terbunuh dalam jumlah yang sangat besar, banyak yang ditawan oleh musuh-musuh mereka, serta negeri mereka banyak yang diambil dan dijajah oleh musuh-musuh mereka. Pada mulanya tiada seorang raja pun yang memerangi mereka melainkan mereka dapat mengalahkannya. Hal tersebut berkat kitab Taurat dan tabut (peti) yang telah ada sejak masa lalu; keduanya diwariskan secara turun-temurun dari para pendahulu mereka sampai kepada Nabi Musa a.s. Tetapi tatkala mereka tenggelam di dalam kesesatannya, maka kedua barang tersebut dapat dirampas dari tangan mereka oleh salah seorang raja di suatu peperangan. Raja tersebut dapat merebut kitab Taurat dan tabut dari tangan mereka, dan tiada yang hafal akan kitab Taurat di kalangan mereka kecuali hanya beberapa gelintir orang saja. Kenabian terputus dari keturunan mereka, tiada yang tertinggal dari kalangan keturunan Lewi yang biasanya menurunkan para nabi selain seorang wanita hamil dari suaminya yang telah terbunuh. Maka kaum Bani Israil mengambil wanita tersebut dan mengarantinakannya di dalam sebuah rumah dengan harapan semoga Allah memberinya rezeki seorang anak yang kelak akan menjadi seorang nabi bagi mereka. Sedangkan si wanita tersebut terus-menerus berdoa kepada Allah Swt. agar diberi seorang anak lelaki. Allah Swt. memperkenankan doa wanita itu dan lahirlah darinya seorang bayi lelaki yang kemudian diberi nama Samuel, yang artinya Allah memperkenankan doaku. Di antara ulama ada yang mengatakan bahwa bayi itu diberi nama Syam'un (Samson) yang artinya sama. Anak tersebut tumbuh dewasa di kalangan kaumnya (Bani Israil) dan Allah menganugerahinya dengan pertumbuhah yang baik. Ketika usianya sampai pada usia kenabian, maka Allah mewahyukan kepadanya yang isinya memerintahkan kepadanya agar mengajak dan menyeru kaumnya untuk menauhidkan Allah Swt. Lalu ia menyeru kaum Bani Israil, dan mereka meminta kepadanya agar ia mengangkat seorang raja buat mereka yang akan memimpin mereka dalam memerangi musuh-musuh mereka, karena raja mereka telah binasa. Maka si Nabi berkata kepada mereka, "Apakah kalian benar-benar jika Allah mengangkat seorang raja untuk kalian, bahwa kalian akan berperang dan menunaikan tugas yang dibebankan kepada kalian, yaitu berperang bersamanya?" Mereka menjawab, yang jawabannya disitir oleh firman-Nya: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?" (Al-Baqarah: 246) Yakni negeri kami telah dirampas dari tangan kami, dan banyak anak-anak kami yang ditawan. Allah Swt. berfirman: Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 246) Yaitu mereka tidak memenuhi apa yang telah mereka janjikan, bahkan kebanyakan dari mereka membangkang, tidak mau berjihad; dan Allah Maha Mengetahui mereka.

Bersambung..

Thursday, October 13, 2016

MANHAJ TURKY UTSMANI

No comments:

             Tahukah Anda ??

Bahwa ISIS / IS (Daulah Islamiyyah) tidak mengakui kekhalifahan Utsmaniyyah sebagai Khilafah yang benar.

HAKIKAT DAULAH UTSMANIYYAH (TURKI UTSMANI) DALAM PANDANGAN TAUHID

Oleh:
Syaikh Nashr Ibnu Hamd Al Fahd

Ini adalah bahasan yang singkat yang menjelaskan hakikat Daulah ‘Utsmaniyyah (Turki Utsmani) yang sering dipuja dan dipuji oleh banyak kalangan yang mengaku dirinya sebagai aktifis Islam, dan mereka menyebutnya sebagai benteng terakhir dari benteng-benteng Islam yang dengan kehancuran daulah tersebut maka hancurlah kejayaan Islam.

Sesungguhnya orang yang mengamati keadaan Daulah ‘Utsmaniyyah  -sejak ia berdiri sampai keruntuhannya-, maka tidak akan ragu bahwa daulah ini telah berandil besar dalam merusak ‘aqidah kaum muslimin, dan hal itu sangat nyata dari dua sisi:

Pertama: Andilnya dalam menyebarkan kemusyrikan.

Kedua: Peranannya dalam memerangi dakwah tauhid.[1]

Daulah ‘Utsmaniyyah ini telah menyebarkan kemusyrikan dengan bentuk mereka menyebarkan paham shufi syirik yang berdiri di atas prinsip peribadatan kepada kuburan dan para wali. Ini adalah realita nyata yang tidak membantah di dalamnya seorangpun termasuk orang-orang yang suka berdebat untuk membela-bela Daulah ‘Utsmaniyyah ini. Saya akan menuturkan berikut ini sebagian pernyataan yang membuktikan hal itu dari ucapan orang-orang yang masih toleran terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah ini.

Abdul Aziz Asy Syanawi di dalam kitabnya (Ad Daulah Al ‘Utsmaniyyah Daulah Islamiyyah Muftara ‘Alaiha)!! 1/59 berkata dalam konteks memujinya: (Di antara fenomena arus keagamaan di dalam politik negara ini adalah pemberian supportterhadap paham shufi di kalangan ‘utsmaniyyin, di mana negara telah membiarkan para syaikh berbagai thariqat shufiyyah melakukan otoritas yang luas terhadap para jama’ah dan para pengikutnya. Thariqat-thariqat ini pertama-tama menyebar dengan penyebaran yang sangat luas di wilayah Asia Tengah kemudian terus menjamur di mayoritas wilayah kekuasaan Daulah ‘Utsmaniyyah…..dan negara telah memberikan suplai bantuan dana kepadasebagian thariqat shufiyyah….dan di antara thariqat terpenting adalah Naqsyabandiyyah, Mulawiyyah, Baktasyiyyahdan Rifa’iyyah….) selesai.[2]

Muhammad Quthub berkata di dalam kitabnya (Waqi’unal Mu’ashir hal 155): “Sungguh shufiyyah ini telah mulai menyebar di masyarakat masa ‘Abbasiyyah, namun ia adalah pojok yang terpencil dari masyarakat. Adapun di bawah payung Daulah ‘Utsmaniyyah dan secara khusus di Turki, maka ia itu telah menjadi fenomena umum masyarakat, dan ia itu telah menjadi dien (agama) utama”. Selesai.

Di dalam (Al Mausu’ah Al Muyassarah Fil Adyan Wal Madzahib Al Mu’ashirah hal: 348)dikatakan: “Bakdasyiyyah: Orang-orang Turki ‘Utsmani adalah menganut paham thariqat ini, dan ia itu masih tersebar di Albania, di mana ia adalah paham thariqat tashawwuf yang lebih mendekati kepada Syi’ah daripada kepada Sunni[3]….dan ia itu memiliki kekuasaan yang besar terhadap para penguasa dinasti ‘Utsmaniyyah”. Selesai.

Dan di dalam kitab (Al Fikru Ash Shufiy Fi Dlauil Kitab Was Sunnah hal: 411) dikatakan:“Para sultan dinasti ‘Utsmaniyyah bersaing di dalam membangun sinagog, biara dan kuburan Baktasyiyyah….di mana di saat sebagian para sultan membelanya, maka para sultan yang lain menentangnya seraya lebih mengedepankan thariqat yang lainnya”. Selesai.

Oleh sebab itu tidaklah aneh bila kemusyrikan dan kekafiran sangat merebak dan tauhid malah lenyap di wilayah-wilayah yang dikuasai mereka.

Syaikh Husen Ibnu Ghunnam rahimahullah berkata di dalam penuturan kondisi negeri-negeri mereka: “Mayoritas manusia di zamannya –yaitu di zaman Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab– adalah berlumuran dengan kotoran lagi bermandikan najis sampai mereka bergelimang dengan kotoran kemusyrikan dengan bergulirnya tahun… di mana mereka berpaling malah mengibadati para wali dan orang-orang saleh serta mereka melepaskan ikatan tauhid dan dien ini, mereka bersungguh-sungguh dalam beristighatsah kepada para wali itu di dalam kondisi genting, bencana dan kejadian yang mencekam, dan mereka menghadapkan wajah kepada para wali itu di dalam pemenuhan berbagai kebutuhan dan penyelamatan dari berbagai bencana, baik para wali itu masih hidup maupun sudah meninggal dunia, dan bahkan banyak dari mereka meyakini manfaat dan madlarat di dalam benda yang mati… -kemudian beliau menuturkan bentuk-bentuk kemusyrikan di Nejed, Hijaz, ‘Irak, Syam, Mesir dan tempat lainnya–“. Selesai.[4]

Al Imam Su’ud Ibnu Abdil Aziz rahimahullah (wafat 1229 H) berkata di dalam suratnya kepada gubernur ‘Utsmani  di Irak seraya menjelaskan realita negara mereka: “Syi’ar-syi’ar kekafiran kepada Allah dan kemusyrikan adalah yang nampak di negara kalian, seperti pembangunan kubah di atas kuburan, penyalaan lampu di atasnya, pemasangan tirai di atasnya, penziarahannya dengan cara yang tidak Allah dan Rasul-Nya syari’atkan, penetapannya sebagai (tempat) ied, permintaaan pemenuhan berbagai kebutuhan dan penyelamatan dari berbagai bencana dan kesulitan kepada para penghuni kuburan itu. Ini semua terjadi di samping penyia-nyiaan kewajiban-kewajiban dien yang telah Allah perintahkan untuk ditegakkan, seperti shalat lima waktu dan yang lainnya. Orang yang ingin melaksanakan shalat, maka dia shalat sendirian dan orang yang meniggalkannya pun tidak diingkari, begitu juga zakat. Ini adalah hal yang masyhur, terkenal lagi didengar orang di banyak wilayah negeri: Syam, ‘Irak, Mesir dan wilayah-wilayah lainnya”. Selesai.[5]

Ini adalah realita keadaan Daulah ‘Utsmaniyyah secara ringkas, dan barangsiapa tidak merasa cukup puas dengan pernyataan-pernyataan yang lalu tentang penjelasan realita negara ini, maka tidak ada jalan baginya.

Adapun keadaan para sultan Daulah ‘Utsmaniyyah ini –meskipun saya secara global telah mengisyaratkan kepadanya-, maka ia adalah sejenis ini pula. Dan saya akan menuturkan contoh-contoh yang beragam dari para sultannya untuk menjelaskan realita keadaan mereka:

1. Sultan Aurkhan Pertama (meninggal 761 H)

Ia adalah sultan ke dua dinasti Daulah ‘Utsmaniyyah setelah ayahnya ‘Utsman (‘Utsman pertama yang meninggal tahun 726 H), dan kekuasaannya berlangsung selama 35 tahun, di mana sultan ini adalah berpaham shufi thariqat Baktasyiyyah.[6]

Thariqat Baktasyiyyah ini –di mana ia telah sering disebut dalam banyak tempat– adalah thariqat shufiyyah yang berpaham syi’ah bathiniyyah yang dirintis oleh (Khankar Muhammad Baktasy Al Khurasaniy) dan ia menyebarkannya di Turki tahun 761 H, dan thariqah ini adalah campuran dari ‘aqidah Wihadul Wujud, peribadatan kepada para syaikh dan pentuhanan mereka, serta campuran dari aqidah Rafidlah dalam pengkultusan para imam. Mereka itu memiliki sikap ghuluw terhadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam –yang mengeluarkan dari Islam-, dan di antaranya adalah ucapan si thalib (anggota jama’ah) dan si murid bila ingin masuk bergabung ke dalam thariqat:

“جئت بباب الحق بالشوق سائلاً ، مقراً به محمداً وحيدراً ، وطالب بالسر والفيض منهما ، ومن الزهراء وشبير شبراً” ثم يقول : “وبالحب أسلمت الحشا خادماً لآل العباس ، وملاذي هو الحاج بكتاش قطب الأولياء “ويقول لشيخه :”وجهك مشكاة وللهدى منارة ، وجهك لصورة الحق إشارة ، وجهك الحج والعمرة والزيارة ، وجهك للطائعين قبلة الإمارة ، وجهك للقرآن موجز العبارة”

“Saya datang di pintu Al Haq dengan penuh kerinduan seraya memohon lagi mengakuinya sebagai Muhammad dan Haidar, lagi meminta dari keduanya (bagian) dari rahasia dan pancaran, dan (meminta) dari Az Zahra dan Syabir walau sejengkal” terus mengatakan” Dan dengan penuh kecintaan saya serahkan diri ini sebagai pelayan bagi keluarga Al ‘Abbas, dan tempat berlindung hamba adalah Al Hajj Baktasy quthubul auliya” dan dia berkata kepada gurunya “ Wajahmu adalah lentera, dan bagi petunjuk (ia) adalah menara, dan wajahmu adalah isyarat untuk wajah Al Haq (Allah), wajahmu adalah haji dan umrah serta ziarah, wajahmu bagi orang-orang yang tunduk adalah kiblat kepemimpinan, dan wajahmu bagi Al Qur’an adalah ringkasan ungkapan”

Dan wirid-wirid Baktasyiyyin adalah di atas ‘aqidah Rafidlah Itsna ‘Asyariyyah, dan mereka itu di dalam ‘aqidahnya banyak mengandung wirid-wirid bathiniyyah dan cara-cara ziarah yang bermuatan syirik yang sangat masyhur.[7]

2. Sultan Muhammad Ke Dua (Al Fatih) (meninggal 886 H)

Ia adalah tergolong sultan daulah ini yang paling terkenal, dan kekuasaannya berlangsung selama 31 tahun:

A. Sesungguhnya ia setelah menaklukan Kostantinopel tahun 857 H menyingkap tempat kuburan Abu Ayyub Al Anshari radliyallaahu ‘anhu dan ia membangun bangunan di atasnya, dan ia membangun mesjid di pinggirnya dan menghiasi mesjid itu dengan marmer putih serta membangun kubah di atas bangunan kuburan Abu Ayyub. Adalah di antara kebiasaan orang-orang ‘Utsmani di saat mereka mulai menjabat sebagai sultan, mereka itu datang di dalam rombongan yang megah menuju mesjid itu kemudian sultan yang baru masuk ke dalam bangunan kuburan tersebut terus menerima pedang sultan (‘Utsman Pertama) dari syaikh (Thariqat Mulawiyyah).[8]

B. Sultan inilah yang pertama kali meletakan dasar-dasar Undang-Undang Sipil dan Undang-Undang Pidana, di mana dia mengganti hukuman-hukuman syari’at yang bersifat fisik yang ada di dalam Al Kitab dan As-Sunnah – yaitu qishash gigi dengan gigi, dan mata dengan mata – dan dia menggantinya dengan denda-denda yang berbentuk uang dengan tata cara yang jelas yang disempurnakan oleh sultan Sulaiman Al Qanuniy.[9]

C. Sebagaimana dia menggulirkan undang-undang –yang diberlakukan sesudahnya-, yaitu bahwa setiap sultan yang menjabat kekuasaan adalah harus membunuh semua saudara-saudaranya!! agar singgasana mulus baginya.[10]

3. Sultan Sulaiman Al Qanuniy (meninggal tahun 974 H)

Dan ia juga termasuk sultan daulah ini yang paling masyhur, dan ia berkuasa kira-kira selama 46 tahun:

A. Dia tatkala masuk ke Baghdad membangun bangunan di atas kuburan Abu Hanifah serta membangun kubah di atasnya, dan ia menziarahi tempat-tempat yang disucikan kaum Rafidlah di Najaf dan Karbala, serta dia membangun kembali apa yang pernah roboh darinya.[11]

B. Sebagaimana dia digelari Al Qaununiy, karena dia adalah orang pertama yang memasukan undang-undang Eropa kepada kaum muslimin dan menjadikannya sebagai undang-undang yang dipakai resmi di lembaga-lembaga hukum (mahkamah), dan dia dalam hal itu telah disemangati oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani.[12]

4. Sultan Salim Khan Ke Tiga (meninggal tahun 1223 H)

Al Imam Su’ud Ibnu Abdil Aziz rahimahullah berkata di dalam risalahnya kepada gubernur Baghdad yang lalu yang telah kami isyaratkan kepadanya:“Dan keadaan kalian dan keadaan para pemimpin dan para sultan kalian adalah menjadi saksi terhadap kebohongan dan kedustaan kalian di dalam hal itu –yaitu di dalam pengklaiman mereka sebagai orang muslim– di mana kami saat membuka kamar Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang mulia semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada yang berada di dalamnya, tahun dua puluh dua kami mendapatkan sebuah surat milik sultan kalian (Salim) yang dikirimkan oleh saudara sepupunya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam seraya dia beristighatsah dengannya dan memohon kepadanya serta meminta kemenangan terhadap musuh kepadanya, di mana di dalamnya terdapat penundukan diri, pemasrahan diri dan kekhusyuan (kepada Rasulullah) yang menjadi saksi terhadap kebohongan kalian. Dan inilah awal surat itu:

من عُبَيْدك السلطان سليم ، وبعد : يا رسول الله قد نالنا الضر ونزل بنا المكروه ما لا نقدر على دفعه ، واستولى عبّاد الصلبان على عبّاد الرحمن !! نسألك النصر عليهم والعون عليهم

“Dari hambamu Sultan Salim, wa ba’du: Wahai Rasulullah, kami telah tertimpa bahaya dan hal yang tidak disukai telah menimpa kami, hal yang tidak mampu kami hadapi, dan para penyembah salib telah menguasai hamba-hamba Allah yang Maha Pemurah!! Kami memohon kepadamu kemenangan dan bantuan terhadap mereka.”

Dan dia menuturkan ungkapan yang banyak yang mana ini adalah inti dan maknanya, maka lihatlah kepada kemusyrikan yang besar ini dan kekafiran kepada Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengetahui,  yang tidak pernah diminta oleh kaum musyrikin dahulu dari tuhan-tuhan mereka Latta dan ‘Uzza, di mana sesungguhnya mereka bila tertimpa bencana maka mereka memurnikan ketundukan kepada Allah Pencipta manusia.[13]

5. Sultan Abdul Hamid Ke Dua (Meninggal tahun 1327 H)

Sultan ini adalah orang shufi yang sangat ta’ashshub (fanatik) terhadap thariqat Syadzaliyyah, dan inilah buktinya surat dia kepada syaikh thariqat Syadzaliyyah di zamannya, di mana dia berkata di dalam suratnya itu:

” الحمد لله ….أرفع عريضتي هذه إلى شيخ الطريقة العلية الشاذلية ، وإلى مفيض الروح والحياة !! ، شيخ أهل عصره الشيخ محمود أفندي أبي الشامات وأقبل يديه المباركتين ، راجياً دعواته الصالحات ، سيدي : إنني بتوفيق الله تعالى أدوام على قراءة الأوراد الشاذلية ليلاً ونهاراً ، وأعرض أنني لا زالت محتاجاً لدعواتكم القلبية بصورة دائمة”

“Segala puji bagi Allah… saya menyampaikan surat pengaduan saya ini kepada syaikh thariqat Syadzaliyyah yang agung dan kepada yang melimpahkan ruh dan kehidupan!! syaikh ahli zamannya yaitu Syaikh Mahmud Afandi Abu Asy Syamat, dan saya mencium kedua tangannya yang penuh barakah, seraya mengharapkan doanya yang saleh. Tuanku: Sesungguhnya saya dengan taufiq Allah Ta’ala selalu membaca wirid-wirid Syadzaliyyah malam dan siang, dan saya sampaikan bahwa saya senantiasa selalu terus membutuhkan kepada doa-doa paduka yang berasal dari hati”[14]

Thariqat Syadzaliyyah ini adalah thariqat shufiyyah quburiyyah syirkiyyah yang ajarannya berisi kekafiran-kekafiran yang nyata lagi jelas yang sebagiannya saja cukup untuk menggolongkan mereka ke dalam jajaran orang-orang kafir penyembah berhala.[15] [16]

Adapun permusuhan dinasti ‘Utsmaniyyah terhadap tauhid, maka ini adalah kisah yang sangat masyhur, di mana mereka telah memerangi dakwah Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah sebagaimana yang telah terkenal.

“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka” (At Taubah: 32).

Mereka mengirimkan berkali-kali gelombang pasukan untuk memerangi ahli tauhid sampai akhirnya mereka mengarahkan serangannya ini dengan menghancurkan kota Dir’iyyah ibu kota Dakwah Salafiyyah tahun 1233 Hijriyyah.[17] Dan orang-orang ‘Utsmaniyyah ini di dalam peperangannya terhadap tauhid, mereka telah meminta bantuan dari saudara-saudara mereka yang beragama nashrani, di mana sebagian pengkaji sejarah telah menemukan di Eropa berbagai dokumen kerjasama antara Napoleon Bonaparte kaisar Prancis dengan Al Baba Al ‘Aliy –penguasa ‘Utsmaniyyah– khusus prihal menghadapi dakwah Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab dan tindakan yang semestinya dilakukan untuk menghadapinya sebagai ancaman bahaya terhadap kepentingan-kepentingan mereka di kawasan timur.[18]

Di dalam peperangan-peperangan ‘Utsmaniyyah terhadap ahli tauhid telah terjadi berbagai kejahatan perang yang melebihi kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang salibis, dan inilah sebagian contohnya:

1. Daulah ‘Utsmaniyyah ingin menyemangati pasukannya untuk membunuhi ahli tauhid, maka ia mengeluarkan keputusan bahwa setiap tentara akan mendapatkan bonus sesuai jumlah korban yang dibunuhnya, dan si tentara harus membuktikan pembunuhannya tersebut, dan itu dengan cara memotong telinga-telinga si korban serta mengirimkannya ke Istanah, ibu kota, maka mereka melakukan hal itu di Al Madinah, Qunfudzah, Qashim, Dlarma dan kota lainnya.[19]

2. Adapun penghancuran pemukiman dan perkotaan dan bahkan pembakaran banyak mesjid yang mereka lakukan, maka tidak usah diceritakan lagi.[20]

3. Dan di antara kejahatan-kejahatan mereka adalah bahwa mereka itu menawan wanita dan anak-anak –dari kalangan ahli tauhid– dan kemudian mereka menjualnya. Al Jibritiy berkata di dalam Tarikh-nya: “Dan bulan Shafar dimulai dengan hari Jum’at tahun 1235 H… dan di bulan hari itu tibalah sekelompok dari pasukan Magharibah (kawasan barat) dan pasukan arab yang dahulunya mereka itu ada di kawasan Hijaz, dan mereka itu disertai dengan tawanan-tawanan wanita, gadis-gadis dan anak-anak kecil dari kalangan Wahhabiyyah. Pasukan itu singgah di Hamayil dan mulailah mereka menjual para tawanan itu kepada orang-orang yang ingin membelinya, padahal mereka itu adalah orang-orang muslim dan merdeka”. Selesai.[21]

4. Dan saya akhiri hal itu dengan suatu kejadian yang diriwayatkan oleh ahli sejarah berkebangsaan Rusia, di mana dia berkata: “Di tahun 1818 M –yaitu tahun 1234 H– Abdullah[22] dipindahkan lewat jalan Kairo ke Istanah dengan ditemani dua orang terdekatnya di awal bulan Kanun pertama –Desember– dan kedutaan Rusia mendapatkan penjelasan dari Istanah: Pekan yang lalu telah dipenggal kepala pemimpin Wahhabiyyin, menterinya dan imamnya[23]yang telah ditawan di Dir’iyyah dan baru dipindahkan ke ibu kota. Dan dalam rangka mengungkapkan rasa kegembiraan lebih atas kemenangannya terhadap musuh bebuyutan kedua kota yang dianggap sebagai sumber Islam, maka sultan memerintahkan di hari ini untuk diadakan majelis di istana lama di ibu kota dan mereka menghadirkan ketiga tawanan tersebut ke istana dalam keadaan dibelenggu dengan rantai yang sangat berat serta dikelilingi oleh para penonton. Dan setelah upacara kenegaraan selesai maka sultan memerintahkan untuk mengeksekusi mati mereka, maka leher si pimpinan dipenggal di depan pintu utama syaikh shufi yang diagungkan, dan leher menterinya dipenggal di depan pintu gerbang, serta leher orang yang ke tiga dipenggal di salah satu pasar utama ibu kota. Dan jasad mereka dipamerkan sedang kepalanya berada di bawah ketiaknya, dan setelah tiga hari maka mereka melemparkan jasad-jasadnya itu ke laut. Dan paduka yang mulia memerintahkan shalat umum dalam rangka bersyukur kepada Allah atas kemenangan pasukan sultan dan atas pemusnahan kelompok yang telah merusak Mekkah dan Al Madinah dan telah menebarkan rasa takut di hati kaum muslimin serta menjerumuskan mereka ke dalam bahaya”.[24]

*****

[1]Orang-orang yang membela-bela Daulah ‘Utsmaniyyah mengatakan bahwa peperangan daulah ini terhadap dakwah salafiyyah adalah peperangan yang bermuatan politik, padahal keadaan yang sebenarnya adalah tidak seperti apa yang mereka klaim, namun justeru ia adalah peperangan ‘aqidah yang mereka mulai dengan sandaran fatwa dari ulama quburiyyun mereka.  lihat (Hasyiyah Ibni ‘Abidin 4/262).

[2] Semua thariqat ini berdiri di atas prinsip peribadatan kepada kuburan dan para wali, bahkan di atas prinsip syirik di dalam rububiyyah yang diakui oleh kaum musyrikin arab dahulu, dan hal itu nyata jelas di dalam keyakinan-keyakinan kaum shufi terhadap Ghauts, Aqthaab, Abdaal dan yang lainnya yang menurut mereka bahwa mereka (para wali yang mereka kultuskan) itu ikut mengatur alam. Dan silahkan rujuk apa yang ditulis Syaikhul Islam tentang shufiyyah serta dialog beliau dengan para pengikut thariqat Rifa’iyyah(Al Fatawa jilid 11) dan silahkan rujuk apa yang ditulis oleh Ihsan Ilahi Dhahirtentang shufiyyah dan tentang thariqat-thariqat ini serta kemusyrikan-kemusyrikannya di dalam kitabnya (Diraasaat Fish Shufiyyah) dan apa yang ditulis As-Sindi di dalam kitabnya (At Tashawwuf Fi Mizanil ‘Ilmi Wat Tahqiq) serta apa yang ditulis oleh Al WakilDi dalam kitabnya (Hadzihi Hiyash Shufiyyah) dan akan datang insya Allah rincian terhadap sebagian thariqat-thariqat ini.

[3] Tashawwuf seluruhnya adalah muhdats lagi bid’ah, dan tidak ada yang namanya tashawwuf sunni, dan nanti akan ada rincian tentang thariqat ini.

[4] Raudlatul Afkar hal 5 dan sesudahnya.

[5] Ad Durar Assaniyyah 1/381.

[6] Lihat (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) hal:123, dan (Al Fikru Ash Shufiy) hal: 411. Baktasyiyyah ini kadang disebut Bakdasyiyyah dan Bakthasyiyyah. Dan sultan ini sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli sejarah adalah bahwa dia itu telah membantu raja Romawi untuk memerangi raja Serbia karena janji raja Romawi kepadanya bahwa ia akan menikahkannya dengan puterinya. Lihat (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) hal:125.

[7] Lihatlah secara rinci di dalam kitab (Al Fikru Ash Shufi Fi Dlauil Kitab Was Sunnah) hal 409-424.

[8] Lihatlah (Ad Daulah Al ‘Utsmaniyyah Daulah Islamiyyah Muftara ‘Alaiha) 1/64.

[9] Lihat (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) hal 177, dan(Fathul Qasthinthiniyyah Wa Muhammad Al Fatih) hal 177.

[10] Lihatlah (Ad Daulah Al ‘Utsmaniyyah Daulah Islamiyyah Muftara ‘Alaiha) 1/64, dan ia telah memulai kekuasaannya dengan membunuh Ahmad saudara sesusuannya!  (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) hal 161.

[11] Lihatlah (Ad Daulah Al ‘Utsmaniyyah Daulah Islamiyyah Muftara ‘Alaiha) 1/25, dan(Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) hal 223.

[12] Lihat (Waqi’unal Mu’ashir) hal 160, dan (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) hal 177 dan hal 198 dan seterusnya.

[13] Ad Durar Assaniyyah hal 160 dan (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) hal 177 dan hal 198 dan seterusnya.

[14] Lihat (Imamut Tauhid) milik Ahmad Al Qaththan dan Muhammad Az Zain hal 148, dan(Ath Thariq Ilaal Jama’ah Al Umm) hal 56, serta(Majallah Al ‘Arabiy) Kuwait yang busuk, edisi  157-169.

[15] Silahkan lihat bentuk-bentuk kemusyrikan dan kesesatan serta bid’ah-bid’ah mereka itu di dalam kitab (Dirasat Fit Tashawwuf) hal: 235, dan (At Tashawwuf Fi Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq) hal 327.

[16] Adapun berita-berita tentang negara ini bersama kaum yahudi dan nashrani serta orang-orang kafir lainnya di dalam sikaf tawallinya kepada mereka dan bantuannya bagi mereka dan bahkan sikapnya mensetarakan orang-orang kafir itu dengan kaum muslimin, maka berita semacam ini adalah sangat banyak sekali. Bila engkau mau maka silahkan tela’ah kitab (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) dan kitab (Ad daulah  Al ‘Utsmaniyyah Daulah Islamiyyah…) dan perjalanan sultan dinasti ‘Utsmaniyyah adalah tidak lepas dari hal itu. Dan sebagaicontoh silahkan lihat sirah (perjalanan) Abdul Majid Ibnu Mahmud di mana dia mengeluarkan dekrit (Farman Al Kalkhanah) tahun 1255 H di mana di dalamnya dia menetapkan kebebasan pribadi dan kebebasan berfikir serta dia menyamakan antara non muslim dengan kaum muslimin. Lihat (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) hal 455, dan (Al Islam Wal Hadlarah Al Gharbiyyah) hal 15.

[17] Untuk melihat kejahatan-kejahatan mereka silahkan lihat ‘Unwanul Majdi 1/157.

[18] Pengantar ‘Athiyyah Salim terhadap kitab Al Imam Muhammad Ibnu Abdil Wahhabkarya Ibnu Baz, sedangkan pengkaji adalah Ahmad Ath Thawil saat membuat desertasi Doktor.

[19] Silahkan lihat rincian hal itu di dalam Tarikh Al ‘Arabiyyah Assu’udiyyah milik ahli sejarah Rusia Basiliyev hal 173, 176, 183, dan 184.

[20] Lihat hal itu di dalam ‘Unwanul Majdi 1/157-219 dan di dalam referensi yang lalu juga.

[21] Tarikh ‘Ajaibul Atsar 3/606, tapi perlu hati-hati dari kitab ini, karena sesungguhnya Al Jibriti sebagaimana  nampak di dalam Tarikh-nya itu adalah orang shufiy khalwatiy yang mengkultuskan kuburan dan para wali bahkan orang-orang mulhid juga dikultuskan, seperti Ibnu ‘Arabi yang zindiq.

[22] Al Imam Abdullah Ibnu Su’ud Ibnu Abdil Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Su’ud akhir imam di daulah Su’udiyyah fase pertama.

[23] Steward menuturkan di dalam Hadlirul ‘Alam Al Islamiy 4/166: Bahwa keduanya adalah penulis pribadinya dan pemegang amanah kebendarahaannya,” dengan mewaspadai dari komentar Syakib Arsalan terhadap kitab ini, karena sesungguhnya dia adalah orang nyeleneh yang sesat, sebagaimana hal itu nampak dari pendapat-pendapanya terutama saat berbicara tentang Sanusiyyah.

[24] Tarikh Ad Daulah As-Su’udiyyah milik Basiliyev hal 186.

sumber : http://millahibrahim.wordpress.com/

Tuesday, October 11, 2016

Sifat Orang Kafir dalam Al Qur’an

No comments:




Kata Kafir dalam bahasa Arab berasal dari kata كافر kāfara; plural كفّار kuffār secara harfiah berarti orang yang menutupi, menolak sesuatu dengan yang lain atau menyembunyikan, mengingkari suatu kebenaran.
Dalam istilah terminologi kultural kata ini digunakan dalam agama Islam merujuk kepada orang-orang yang mengingkari nikmat dari Allah (sebagai lawan dari kata syakir, yang berarti orang yang bersyukur).
Dalam bahasa Inggris ada katacoveryang diartikan ”the act of concealing the existence of something by obstructing the view of it”. Dalam terjemah bebasnya “tindakan menyembunyikan sesuatu dengan menghalangi pandangan.
Pada zaman sebelum Islam, istilah tersebut digunakan untuk para petani yang sedang menanam benih di ladang. Mereka menutup/menguburnya dengan tanah. Sehingga kalimat kafir bisa diimplikasikan menjadi “seseorang yang bersembunyi atau menutup diri”.
Sifat-sifat orang kafir dalam surah Al-Baqarah
Di dalam Al Qur’an, kitab suci agama Islam, kata dan sifat-sifat orang kafir dan variasinya dituliskan dalam beberapa ayat dalam Surah Al-Baqarah, antara lain
1. Tidak mau menerima nasihat
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman.” (Surah Al-Baqarah : 6 dan 7).
Ayat ini menyebutkan golongan orang kafir. Sekilas ayat di atas menunjukkan bahwa seolah tidak ada gunanya berdakwah terhadap orang-orang kafir. Toh, hasilnya tetap sama saja. Diberi dakwah atau tidak, diberi peringatan atau tidak, mereka tetap tidak beriman. Karena kekafiran yang begitu mendalamlah sehingga membuat mereka tidak sudi beriman. Di samping itu, Allah memang tidak memberikan hidayah kepadanya.
Tentang golongan kafir ini, Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manarmengklasifikasikan menjadi tiga macam.Pertama,orang yang mengetahui kebenaran namun ia dengan sengaja mengingkarinya. Jumlah orang kafir inilah yang paling sedikit.
Kedua,orang yang tidak mengetahui kebenaran, namun tidak ingin mengetahuinya dan tidak suka untuk mengetahuinya. Mereka bersikap masa bodoh dan tidak peduli dengan kebenaran.
Ketiga,orang yang telah sakit jiwa dan hatinya. Ia tidak merasakan nikmatnya kebenaran. Tak ada ketertarikan di dalam hati mereka untuk menemukan kebenaran. Hati dan jiwa mereka telah dipenuhi dengan keinginan-keinginan duniawi dan kenikmatan jasmaniah semata. Akal dan pikiran mereka dicurahkan untuk memperoleh keuntungan material saja. Ketiga macam orang kafir seperti itulah yang hasilnya sama saja. Diberi dakwah atau tidak, mereka tetap tak beriman.
Menurut Ibnu Abbas, orang-orang kafir yang telah tertutup hati, telinga, dan mata mereka itu adalah orang-orang Yahudi, seperti Ka’ab bin al-Asyraf, Huyay bin Akhthab, dan Juday bin Akhthab. Namun ada juga yang berpendapat, mereka adalah orang-orang musyrik Mekkah, seperti Utbah, Syaibah, dan al-Walid.
Dalam realitas di masyarakat, kita bisa menemukan orang yang telah tertutup mata hati, telinga, dan matanya. Apapun nasihat dan anjuran kebenaran yang diberikan kepadanya, tak juga mempan untuk membuatnya sadar dan kembali ke jalan yang benar. Hal itu terjadi saat seseorang melakukan keburukan dan kemaksiatan secara berulang-ulang dan terus-menerus. Karena begitu seringnya keburukan dan kemaksiatan ia lakukan, hati nuraninya jadi tertutup. Ia tak lagi merasa berdosa dan gundah saat melakukan kejahatan dan keburukan.
2. Berburuk sangka terhadap takdir Allah
Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 26
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَحْيِي أَن يَضْرِبَ مَثَلاً مَّا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُواْ فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُواْ فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلاً يُضِلُّ بِهِ كَثِيراً وَيَهْدِي بِهِ كَثِيراً وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلاَّ الْفَاسِقِينَ
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak segan-segan membuat perumpamaan nyamuk ‎atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka ‎mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi yang ‎kafir mengatakan: “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk ‎perumpamaan?‎‏ ‏Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan ‎Allah dan dengan perumpamaan itu pula banyak orang yang diberinya ‎petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang ‎fasik”.
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahawa Dia tidak keberatan untuk membuat perumpaan dengan seekor nyamuk dan seumpamanya, atau yang lebih kecil lagi. Justru kehebatan sebenarnya terletak pada satu perkara yang unik dan sulit dilakukan penelitian. Yakni tiadalah yang dapat memahami hikmah di balik setiap perumpamaan ayat-ayat Al-Quran melainkan orang-orang yang mendalami ilmu pengetahuan. Pastinya setiap perumpamaan itu perlu direnungi untuk di ambil pelajaran dan sangat berguna buat kehidupan.
Pada lafaz “tetapi mereka yang kafir mengatakan: Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?”,yakni sikap orang-orang kafir yang memandang hina terhadap perumpamaan Allah berupa makhluk-makhluk kecil dan remeh. Mereka berburuk sangka serta mempersoalkannya, sambil berkata: Apakah yang Allah membuat kiasan kepada benda-benda yang remeh ini?. Mereka adalah orang-orang yang keliru dan akhirnya mereka menjadi semakin kufur dan rugi. Mereka tidak memahami rahasia dan hikmah di balik penciptaan itu.
Menurut para ilmuwan, nyamuk akan tetap hidup jika dalam keadaan lapar tetapi apabila kekenyangan maka ia akan mati. Demikian juga manusia, mereka akan sering mengingat Allah ketika dalam keadaan susah dan sempit. Namun jika dalam keadaan yang lapang, banyak harta, berkecukupan maka manusia sering melupakan Allah, zat yang memberinya segala kenikmatan itu. Dengan kata lain, apabila mereka merasa puas dengan harta dunia yang melimpah itu, dan melalaikan Sang Pemberi kenikmatan, maka saat itulah Allah mengazab mereka.
3. Menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti perasaan penerima
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 264 :
بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاء النَّاسِ وَلاَ يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لاَّ يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُواْ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”


PARA PENGHINA AGAMA II

No comments:



Tobatnya Seorang Penghina Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


Para ulama sepakat jika orang tersebut bertobat dengan tobat nasuha dan menyesali perbuatannya, maka tobatnya akan bermanfaat baginya pada hari kiamat, sehingga Allah mengampuni dosanya.
Akan tetapi mereka berselisih pendapat tentang bagaimana status tobatnya di dunia dan menjatuhi hukuman bunuh baginya.

Imam Malik dan Ahmad berpendapat bahwa tobatnya tidak diterima, dia harus dibunuh meskipun bertobat. Dalilnya adalah:

Diriwayatkan dari Abu Dawud dari Sa’d bin Abi Waqqash ia berkata, “Tatkala terjadi penaklukkan Mekkah, Rasulullah memberikan keamanan kepada semua orang kecuali empat orang laki-laki dan dua orang wanita dan beliau menyebutkan nama mereka serta Ibnu Abu Sarh. Kemudian Sa’d menyebutkan hadits tersebut, ia berkata; Adapun Ibnu Abu Sarh, ia bersembunyi di rumah Utsman bin Affan, kemudian tatkala Rasulullah menyeru untuk berbai’ah, Utsman membawanya ke hadapan Rasulullah shallallahu wa’alaihi wa sallam dan berkata, ‘Wahai Nabi Allah, baiatlah Abdullah’. 
Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan melihat kepadanya tiga kali, setiap melakukan tersebut beliau enggan untuk memba’iatnya. Kemudian setelah tiga kali beliau membai’atnya lalu beliau menghadap kepada para sahabatnya dan berkata, ‘Bukankah di antara kalian ada orang berakal yang mendatangi orang ini di mana ia melihatku. Aku menahan diri dari membaiatnya, lalu ia membunuhnya?’ Mereka berkata, ‘Kami tak mengetahui wahai Rasulullah, apa yang ada di dalam hatimu. Bukankah Engkau telah memberi isyarat kepada kami dengan matamu?’ Beliau berkata, ‘Sesungguhnya tak selayaknya seorang Nabi memiliki mata khianat’.” (HR. Abu daud No.2334 dan dishahihkan oleh Albani)


Dalil ini menerangkan bahwa orang yang murtad karena menghina tidak diterima tobatnya, bahkan wajib dibunuh meskipun dia datang dalam keadaan bertobat.
Disebutkan bahwa Abdullah bin Sa’d adalah salah satu penulis wahyu, kemudian dia murtad dan mengklaim bahwa dia telah menambah sesuatu dalam penulisan wahyu sesuai dengan keinginannya.
 Ini adalah dusta dan mengada-ngada terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan termasuk bentuk penginaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia masuk Islam dan memperbaiki keislamannya. Semoga Allah meridhainya. (As-Sharim, 115)


Sementara pendapat yang benar adalah para ulama menyebutkan bahwa orang yang menghina Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melanggar dua hak, yaitu hak Allah dan hak manusia. Kaitannya dengan hak Allah karena dia telah menghina utusan-Nya, kitab dan agama-Nya. Sementara kaitannya dengan hak manusia adalah dia telah melakukan perbuatan keji terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat penghinaannya. Sehingga hukuman yang berkaitan dengan pelanggaran hak Allah dan hak manusia tidak bisa dihilangkan dengan tobat.




Sebagaimana hukuman terhadap para penyamun, jika dia telah melakukan pembunuhan maka wajib untuk dibunuh dan disalib. Kemudian jika dia bertobat sebelum ditangkap maka pelanggaran hak Allah –yang menyebabkan dia harus dibunuh dan disalib—menjadi batal. Namun hak yang berkaitan dengan manusia tidak batal, yaitu hukuman qishas. Demikian juga dalam hukuman ini, jika penghina atau pencela tersebut bertobat maka hak Allah telah gugur darinya, namun hak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum gugur dengan tobatnya.
Kemudian jika ada yang berkata, “Apakah tidak mungkin kita memaafkannya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hidupnya telah memberi maaf dan tidak membunuh terhadap sekian banyak orang yang mencelanya?
Iya, terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih untuk memaafkan orang yang mencelanya dan tidak jarang juga beliau perintahkan untuk dibunuh karena dipandang lebih mendatangkan maslahat. Akan tetapi saat ini pemaafan dari beliau sudah tidak bisa. Maka tersisalah hukuman bunuh bagi penghina tersebut karena melanggar hak Allah dan rasul-Nya serta hak kaum muslimin yang belum menggugurkan hukumannya. Oleh karena itu, dia wajib dibunuh. (As-Sharimul Maslul, 2/438)

Menghina Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bagian dari perbuatan haram yang paling besar, pelakunya kafir dan murtad dari Islam sesuai dengan ijma’ para ulama. Baik karena sungguh-sungguh maupun hanya sekedar main-main saja. Hukuman bagi pelakunya adalah dibunuh meskipun dia telah menyatakan tobat, baik muslim maupun kafir. Kemudian jika memang dia melakukan tobat nasuha dan menyesali perbuatannya tersebut, maka tobatnya akan bermanfaat baginya di hari kiamat, sehingga Allah mengampuni dosanya.

Syaikh Ibnu Taimiyah memiliki karangan yang cukup bagus dalam menerangkan permasalah ini yaitu kitab “As-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimi Rasul”. Bagi seorang muslim diharapkan untuk membacanya, tak terkecuali pada zaman ini ketika banyaknya fenomena istihza’ terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dimunculkan oleh orang-orang munafik dan orang-orang kafir.
Ini terjadi manakala kaum muslimin merasa acuh tak acuh terhadap fenomena tersebut, lemahnya semangat untuk membela agama dan Nabi mereka, dan tidak ada penerapan hukum syariat Islam terhadap mereka yang melakukan perbuatan kufur.
Kita memohon kepada Allah agar mengangkat derajat orang yang taat kepada-Nya dan menghinakan orag yang bermaksiat kepada-Nya.
Dan Allah lah yang maha mengetahui, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad shallallu ‘alaihi wa sallam dan seluruh para sahabatnya.   


Abu islam Al Muhajir

PARA PENGHINA AGAMA

No comments:






orang yang mencela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kafir. Baik karena sungguh-sungguh atau hanya sekedar main-main saja.

Sementara dalil dari As-Sunnah adalah:


عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ يَهُودِيَّةً كَانَتْ تَشْتُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقَعُ فِيهِ ، فَخَنَقَهَا رَجُلٌ حَتَّى مَاتَتْ ، فَأَبْطَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَمَهَا


“Dari Ali radhiyallahu ‘anhu bahwa salah seorang wanita yahudi mencela menghina Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ada salah seorang yang mencekik wanita itu sampai mati, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menuntut darahnya (artinya tidak diqishah).” (HR. Abu Daud, no; 4362)

Dalam kitab Sharimul Maslul, Syaikhul Islam berkata, “Derajat hadis ini adalah jayyid (bagus), dan ada penguatnya dari hadits Ibnu Abbas.
Hadits ini menerangkan bolehnya membunuh seseorang karena menghina Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Ibnu ‘Abbas:

 Bahwasanya ada seorang laki-laki buta yang mempunyai ummu walad (budak wanita yang melahirkan anak dari tuannya) yang biasa mencaci dan menghina Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Laki-laki tersebut telah mencegahnya, namun ia (ummu walad) tidak mau berhenti. 
 Laki-laki itu juga telah melarangnya, namun tetap saja tidak mau. Hingga pada satu malam, ummu walad itu kembali mencaci dan merendahkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Laki-laki itu lalu mengambil pedang dan meletakkan di perut budaknya, dan kemudian ia menekannya hingga membunuhnya. Akibatnya, keluarlah dua orang janin dari antara kedua kakinya. Darahnya menodai tempat tidurnya.

 Di pagi harinya, peristiwa itu disebutkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan orang-orang dan bersabda : “Aku bersumpah dengan nama Allah agar laki-laki yang melakukan perbuatan itu berdiri sekarang juga di hadapanku”. Lalu, laki-laki buta itu berdiri dan berjalan melewati orang-orang dengan gemetar hingga kemudian duduk di hadapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, akulah pembunuhnya. Wanita itu biasa mencaci dan merendahkanmu. Aku sudah mencegahnya, namun ia tidak mau berhenti. Dan aku pun telah melarangnya, namun tetap saja tidak mau. Aku mempunyai anak darinya yang sangat cantik laksana dua buah mutiara. Wanita itu adalah teman hidupku. Namun kemarin, ia kembali mencaci dan merendahkanmu. Kemudian aku pun mengambil pedang lalu aku letakkan di perutnya dan aku tekan hingga aku membunuhnya”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Saksikanlah bahwa darah wanita itu hadar (tidak ada tuntutan taubat)” [HR. Abu Dawud no. 4361 dan dishahihkan oleh Al-Albani].

Wanita tersebut adalah kafir dan belum masuk Islam. Karena seorang muslimah tidak mungkin melakukan perbuatan keji tersebut. Dan jika seandainya dia seorang muslimah, maka akan dihukumi murtad. Dan ketika itu juga tuannya tidak boleh lagi menyentuhnya lagi.

عَنْ أَبِي بَرْزَةَ الْأَسْلَمِيِّ قَالَ : أَغْلَظَ رَجُلٌ لِأَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ ، فَقُلْتُ : أَقْتُلُهُ ؟ فَانْتَهَرَنِي، وَقَالَ : لَيْسَ هَذَا لِأَحَدٍ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Diriwayatkan dari Abu Barzah Al-Aslamiy, ia berkata, “Seseorang pernah berbuat kasar kepada Abu Bakr Ash-Shiddiiq, lalu aku berkata kepadanya (Abu Bakr), ‘Apakah boleh aku membunuhnya?’ Lalu ia menghardikku dan berkata, ‘Tidak boleh bagi seorang pun untuk dibunuh—hanya karena berbuat kasar kepada orang lain—selain Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam‘.” (HR. An-Nasaa’iy no. 4071; shahih].
 
back to top